Senin, 03 Mei 2010

TANYA-JAWAB SEPUTAR PLURALISME AGAMA & MAZHAB (Bag 2)

Bersama: Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi

(Pakar fikih, mistik, filsuf dan masalah keislaman kontemporer)

VII

TUJUAN PELONTARAN MASALAH PLURALISME

DITENGAH MASYARAKAT

Tanya: Apakah tujuan dilontarkannya permasalahan pluralisme agama pada masyarakat kita?

Jawab: Dalam media massa ataupun ceramah-ceramah yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tak dikenal, beberapa kali kita dengar mereka melontarkan pemikiran pluralisme agama dan mereka juga tekankan bahwa Islam, Kristen maupun agama-agama lain memiliki kebaikan oleh karenanya harus ada saling menghormati dan toleransi antar pengikut keyakinan-keyakinan yang ada. Sebagaimana kita menyukai jika keyakinan kita dihormati orang lain dan kita diberi kebebasan mengamalkan segala ajaran yang kita miliki maka merekapun harus kita beri hak untuk menganggap diri mereka dalam kebenaran dan memberi kebebasan untuk mengamalkan segala ajaran mereka, juga menghormati dan menganggap akan keberadaan dan kebenaran akidah mereka.

Tujuan dilontarkannya pemikiran-pemikiran semacam ini pada masyarakat kita adalah mencakup hal-hal sbb:

- Menjaga agar tidak merebaknya kebudayaan Islam dan budaya revolusioner: Sewaktu pembicaraan tentang kebenaran semua agama dan keyakinan-keyakinan yang ada sudah bisa diterima maka tidak perlu lagi mengajak orang lain untuk menuju Islam. Sewaktu ucapan seorang Kristen pun dianggap sebagai suatu kebenaran, lantas untuk apa kita seru dia kepada Islam agar menjadi seorang muslim? sewaktu ucapan orang-orang materialis dianggap benar dan prilaku merekapun sesuai dengan tuntutan mereka, lantas tidak perlu lagi orang-orang monoteis mengajak mereka untuk meyakini Tuhan. Lantas kenapa para monoteis selalu mengajak orang-orang musyrik untuk bertauhid? kenapa dan kenapa….kesimpulan dari hal tadi adalah untuk membatasi luang lingkup penyebaran pemikiran revolusioner dan budaya Islam sehingga pemerataannyapun tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan leluasa yang kemudian berakhir pada kemandulan.

- Menyusupkan pemikiran, budaya juga norma-norma materialisme dan barat pada masyarakat kita: sewaktu agama, budaya maupun norma-norma kita telah sirna dan kita sudah meyakini bahwa bukan hanya Islam saja sebagai agama yang benar maka otomatis jalan buat agama dan keyakinan yang lainpun telah terbuka. Sewaktu semua agama dan sekte memiliki muatan kebenaran maka kenapa kita tidak mengikuti prilaku, posisi dan norma-norma kelompok lain selain Islam?

Kesimpulan dari dua poin diatas adalah, untuk menghilangkan fanatisme dan jiwa beragama. Sewaktu kecemburuan dan rasa tanggungjawab keberagamaan -yang menjadi penghalang munculnya pemikiran-pemikiran menyimpang- telah sirna, sedang jiwa toleransi dan penyederhanaan masalah (tasahul) terus terpupuk hingga tumbuh dengan subur dan menjadi kokoh pada setiap jiwa manusia sehingga seakan sudah tidak ada lagi perbedaan antar keyakinan, sakralitas maupun norma-norma pada setiap pribadi muda-mudi dan person-person masyarakat. Hal itu berarti bahwa musuh-musuh Islam telah berhasil dalam mencapai tujuannya. Karena pengaruh dan serangan norma-norma materialis dan barat telah berhasil membuka jalan-jalan yang ada sehingga kemungkinan berkuasanya kembali kekufuran menjadi semakin besar.

VIII

ARGUMEN PEMIKIRAN PLURALISME

Tanya: Argumen apakah yang digunakan oleh pendukung pemikiran pluralisme dalam menetapkan pendapat mereka?

Jawab: Pertama harus kita ketahui bahwa para pemrakarsa pemikiran pluralisme memberikan banyak sekali argumen mulai argumen rasional, historis, sastra, Al-Qur’an,….dst. Tentu, kita tidak bisa sebut satu persatu dalam kesempatan yang terbatas ini, cuma hanya beberapa saja yang akan kita sebutkan.

Para pendukung pluralisme mereka sering menggunakan tiga sarana dibawah ini sebagai alat bantu untuk menguatkan pendapat mereka, tiga hal tadi adalah:

A – Pluralisme dalam masalah politik, sosial dan ekonomi.

B – Relativitas semua norma-norma yang ada.

C – Relativitas ilmu pengetahuan (knowledge).

Pada kesempatan ini akan kita perjelas satu persatu dari tiga hal diatas secara ringkas:

(a) – Pluralisme politik dan sosial: Sekarang ini, dimana adanya berbagai macam negara-negara didunia dan dengan berbagai macam pula bentuk pemerintahannya mulai dari kerajaan, republik, parlementer…dst. Setiap bentuk pemerintahan memiliki cara sendiri-sendiri dalam mengatur jalannya roda pemerintahan.

Dalam pembahasan filsafat politik, sewaktu kita dihadapkan pada pertanyaan; manakah bentuk pemerintahan yang ideal? Tentu, jawaban yang pas tidak akan pernah kita dapati, karena setiap bentuk tadi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Sebagaimana sekarang ini demokrasi merupakan perkara yang bisa diterima oleh banyak kalangan, dan disebutkan bahwa masyarakat bisa turut serta berpartisipasi aktif dalam mengatur jalannya pemerintahan hanya dengan melalui partai-partai yang ada. Jika sebuah partai mendapat suara terbanyak lantas ia terus-menerus dapat memegang kendali pemerintahan maka, tentu hal semacam itu tidak bisa diterima. Akan tetapi partai tersebut harus terlebih dahulu menghadapi pertarungan suara dan adu pendapat sehingga setiap partai bisa berkuasa pada waktu tertentu. Oleh karenanya pluralisme dalam partaipun sekarang ini juga diakui.

- Pluralisme ekonomi: Menilik dari sisi ekonomi, dengan adanya beberapa kutub yang berbeda-beda akan mengakibatkan hilangnya kesewenang-wenangan dari beberapa kelompok tertentu. Sedang dari sisi perkembangan dan perluasan ekonomi harus tetap ada pada beberapa kelompok kekuatan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat.

Sebagaimana yang telah disinggung seperti dalam masalah-masalah diatas, para pendukung pluralisme berusaha menyamakan permasalahan agama dengan perkara-perkara politik, ekonomi dan partai. Sehingga dari situ mereka berkesimpulan bahwa dalam segala aspek sosial diperlukan pluralitas, oleh karenanya hal itu harus dimunculkan dan dikembangkan. Sebagaimana yang telah kita singgung dalam tanya-jawab sebelumnya bahwa analogy semacam itu merupakan suatu kesalahan.

(b) Relativitas norma-norma yang ada: Banyak sekali kita dapati beberapa permasalahan dan ilmu pengetahuan dimana dalam sisi penerapannya tidak mungkin bisa berbilang. Tidak mungkin adanya beberapa pandangan yang bisa kita yakini kebenarannya secara bersamaan. Pembahasan kimia, biologi, matematika dan arsitektur adalah termasuk bagian dari hal tadi. Melihat kenyataan semacam itu maka kita akan bertanya kepada pembela pluralisme; kenapa anda menyamakan antara permasalahan agama dengan ekonomi ataupun politik? Kenapa anda tidak menyamakan antara permasalahan agama dengan permasalahan-permasalahan biologi atau matematika dimana tidak ada jawaban yang benar kecuali satu? Sebagaimana hukum yang dihasilkan dari ungkapan semisal; Apakah sudut bisa menerima cahaya atau tidak, sisinya sama atau tidak, dua kali dua apakah empat atau bukan? Sebagaimana semua pertanyaan itu bisa kita dapati pula dalam kaitannya dengan agama; Apakah Tuhan ada atau tiada? Tentu, hanya satu jawaban yang benar dan tentu tidak bisa kita terima jawaban benar yang plural. Disini para pluralis menjawab dengan poin lain yaitu dengan melontarkan permasalahan berkisar tentang manusia, norma dan budaya dimana masalah agama masuk dalam kategori tersebut yang lebih bersifat abstrak dan tidak memiliki realita dikarenakan tergantung pada kecenderungan manusia itu sendiri. Contoh dari hal tersebut adalah sebagaimana kita tidak bisa menilai bahwa warna hijau atau kuning adalah warna terbaik diantara warna-warna yang ada, atau bau tertentu lebih baik, atau makanan tertentu, fulan lebih menarik dari orang lain, cuaca tertentu lebih bagus ataupun adat istiadat masyarakat Cina atau Jepang lebih bagus dibanding dengan adat istiadat masyarakat negara-negara Afrika umpamanya. Perkara yang menyangkut masalah agama juga memiliki hukum yang sama pula, umpamanya; tidak bisa dikatakan secara pasti apakah sholat menghadap ke Makkah lebih bagus atau menghadap Baitulmaqdis, Islam lebih baik atau Kristen, tauhid dan agama Tuhan lebih bagus atau trinitas ataupun materialis. Semua permasalahan tadi dari ribuan permasalahan lain semacam ini tergantung pada kecenderungan dan kebiasaan masyarakat, dimana realitanya hanya tergantung pada hasrat dan keinginan manusia yang bersangkutan saja oleh karenanya ada kemungkinan berubah. Boleh jadi pada waktu tertentu warna hijau menjadi warna favoritnya, sedang diwaktu lain warna kuning dan kesempatan lain warna merah muda. Pada masyarakat tertentu duduk menjadi bukti penghormatan tapi dikomunitas lain justru berdiri menjadi bukti penghormatan sedang dinegara lain memiliki adat lain pula.

(c) RelatiVitas pengetahuan (knowledge): Asas ketiga yang dijadikan sandaran kaum pluralis adalah masalah relativitas pengetahuan. Dua asas yang telah disinggung diatas tadi bertumpu pada asas ini pula. Oleh karenanya, asas ini dianggap sebagai asas terpenting dari sekian asas-asas yang ada. Mereka berpendapat bahwa bukan hanya pengetahuan tentang norma-norma saja yang relatif, akan tetapi mencakup semua pengetahuan. Dengan bahasa yang lebih gamblang tidak ada pengetahuan tanpa relativitas. Walaupun dalam beberapa permasalahan tampak jelas sekali tapi dalam permasalahan lain masih tampak agak samar. Relativitas bisa ditemui dalam segala pengetahuan yang bersifat obyektif maupun semua yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, juga segala ilmu pengetahuan kita yang terdapat hubungan dan saling berkaitan satu dengan yang lain. sebagaimana perubahanpun bisa terjadi pada segala susunan pengetahuan manusia yang berkaitan dengan cabang-cabang semua disiplin ilmu.

Bisa ditambahkan bahwa yang terjadi ditengah masyarakat kita sekarang ini selain yang telah kita sebutkan tadi ada beberapa oknum yang zahirnya nampak sebagai seorang muslim dan berjiwa agamis mereka berusaha untuk menetapkan keyakinan ini dengan menggunakan pemahaman-pemahaman agama dan teks-teks suci keagamaan. Dalam banyak kesempatan merekapun menggunakan dalil-dalil sastra maupun syair-syair seperti karya Maulawi (Jalaluddin Rumi .pen) atau Atthar Naisaburi yang digunakan untuk berdalil pada setiap pandangan mereka. Sedang disitu terdapat poin-poin yang mereka lalaikan dengan tanpa mereka disadari. Padahal jika diteliti lebih lanjut, niscaya banyak sekali peluang-peluang untuk bisa menkritisi pemikiran mereka. Dimana dalam buku inipun ada beberapa poin yang sempat kita singgung.

IX

TUJUAN PEMIKIRAN PLURALISME

Tanya: Secara global tujuan apakah yang ingin dicapai sehingga pemikiran tentang pluralisme tersebut sengaja dilontarkan?

Jawab: Ada dua tujuan rasional yang menyebabkan munculnya kecenderungan untuk berpikir sesui konsep pluralisme:

- Tujuan yang menjurus langsung pada perasaan manusia: Sebagian orang berpendapat bahwa jika kita hanya mengakui satu agama atau satu sekte saja yang benar maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi, karena setiap individu pada setiap bangsa sejak kecil memiliki kecenderungan masing-masing sehingga memiliki tampilan dan gaya tersendiri. Mereka meyakini bahwa keyakinan dan jalan yang selama ini mereka tempuh merupakan satu kebenaran, dimana selain hal tersebut mereka anggap suatu kesesatan. Pemikiran seperti ini tidak hanya dapat kita jumpai dikomunitas muslim ataupun syiah imamiah saja akan tetapi dibanyak kelompokpun kita akan menjumpai hal semacam itu. Sebagaimana kita menganggap bahwa selain golongan kita mereka dalam kesesatan merekapun melihat dengan kaca mata mereka bahwa kita juga dalam kesesatan. Jika kita terlahir dari bangsa dan agama selain yang kita peluk sekarang ini ataupun terlahir dari ibu-bapak lain selain ibu-bapak kita niscaya kita akan memiliki penilaian yang lain pula. Begitu pula jika seorang Masihi ataupun Yahudi berkebangsaan Eropa ataupun Amerika, jika ia terlahir di Tehran ataupun di Qom niscaya ia akan memiliki keyakinan yang lain. Sebagaimana mereka harus memberikan kemungkinan-kemungkinan akan kebenaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad (saww), mereka juga diharuskan meneliti terlebih dahulu sebelum menghukuminya. Maka kitapun juga sebaliknya harus memberikan segala kemungkinan yang menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh orang lain memuat suatu kebenaran dan kita harus menelitinya terlebih dahulu. Sehingga dari sini muncul pertanyaan; Kenapa hanya dikarenakan kita terlahir secara terpaksa dari ibu-bapak dan dibelahan bumi tertentu sehingga hal itu menyebabkan dari satu sisi kita harus mengakui kebenaran apa yang kita yakini dan disisi lain kita harus mengatakan kesesatan kelompok lain?

Dari sisi lain apakah mungkin kita akan menerima bahwa dari jumlah seluruh penghuni bumi yang mencapai 6 milyar jiwa tersebut hanya 100 sampai dengan 200 juta jiwa saja –itupun hanya bagi orang yang konsekwen menjaga halal-haram dalam sari’at dan yang tidak menutup pintu sorga buat dirinya- yang ada dalam kebenaran dan termasuk calon penghuni sorga. Sedang selain penganut agama Islam –yang mencakup Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Hindu, Budha…dst- ataupun selain pengikut Syiah –semua kelompok ahlussunnah- atau lebih khusus lagi selain Syiah imamiah itsna asyariah –selain ahlussunnah juga mencakup sekte-sekte syiah yang lain- mereka adalah dalam kebatilan dan akan menjadi penghuni neraka?!

Analisa semacam ini memiliki tujuan yang titik beratnya pada sisi kejiwaan saja, sehingga walaupun keberadaan agama dan sekte dengan jumlah yang berbilang dan yang muncul tapi semua itu diyakini tetap dalam kebenaran. Sebagaimana kita dalam kebenaran maka merekapun termasuk orang-orang yang selamat dan bakal menjadi penghuni sorga. Mereka menganggap kelompok lain dalam kebenaran dengan dalih bahwa berapa banyak dari mereka yang lebih baik, bersih dan konsisten terhadap agamanya.

- Tujuan yang bersifat sosial: Ada poin lain yang menyebabkan kecenderungan banyak orang menjadi pengikut pandangan ini yaitu adanya pertikaian, peperangan dan kecamuk yang sering terjadi sepanjang sejarah manusia yang hingga kini terus berlangsung. Berapa banyak jiwa yang mati, perusakan, penghancuran dan pertumpahan darah diakibatkan dari penentuan sekte manakah yang ada dalam kebenaran. Munculnya fanatisme dan bersikerasnya sebagian oknum dalam menerapkan keyakinan khusus yang tedapat pada sektenya.

Peristiwa-peristiwa seperti perang salib perang antara Islam dan Kristen, perang antar madzhab antara sunni dan syiah, perang antar sekte antara katolik dan protestan, dan banyak lagi contoh-contoh semacam itu. Dimana akar dari semua kejadian itu adalah fanatisme dan bersikeras atas pandangan pribadi.

Untuk menyelesaikan segala kecamuk semacam itu harus diadakan suatu teori yang memuat pemberian toleransi dan penyederhanaan masalah (tasahul). Jika itu disepakati dan dilaksanakan oleh semua kelompok dimana jika masing-masing mereka serentak meneriakkan; “kita dalam kebenaran sebagaimana kalianpun juga dalam kebenaran”. Sebagaimana Islam dalam kebenaran begitu pula Kristen kristen dalam kebenaran, sebagaimana syiah dalam kebenaran begitu pula sunni, sebagaimana katolik dalam kebenaran begitu pula ortodoks ataupun protestan…. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akar permusuhan yang berakhir pada terwujudnya perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.

Dari sini kita telah membicarakan tentang dua tujuan dan alasan dimunculkannya teori pluralisme. Adapun apakah kita sekarang akan menerima dua alasan tadi? Kalaupun kita menerimanya adakah cara lain sebagai jalan keluar selain konsep pluralisme atau tidak? Kalaupun ada jalan lain yang bisa ditempuh jalan manakah yang logis dan benar?

Untuk menjawab alasan kejiwaan yang telah disebutkan tadi ada beberapa premis yang harus disinggung terlebih dahulu:

1- Mustadh’af (lemah / oppressed) dalam istilah kita ada dua pengertian:

a- Lemah dari sisi sosial dan ekonomi yang bisa dikategorikan sebagai golongan minus.

b- Lemah dari sisi intelektual yang dalam pembahasan theology (ilmu kalam) sering dipredikatkan buat individu yang tidak mampu berfikir dan berargumen dengan baik sehingga tidak bisa menentukan kebenaran yang ada seperti; sulit memahami tentang argumen eksistensi Tuhan atau kebenaran Islam ataupun dikarenakan ia tidak pernah mendapati pemasalahan-permasalahan semacan itu. Dan kalaupun pernah ia dapati dan ia dengar hal-hal semacam itu, ia tidak mampu memberikan kemungkinan akan kebenarannya sama sekali. Dengan kata lain ia tidak menindaklanjutinya, perkara semacam ini bisa diakibatkan dari lingkungan keluarga, sosial atau tidak adanya propaganda ataupun karena adanya propaganda yang bertentangan. Walhasil…ia telah menempuh arah lain.

2- Ada dua istilah yang sering dipakai untuk kebodohan (jahl):

a- Jahil muqoshir yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk mendapat suatu ilmu ataupun orang yang memberikan kemungkinan salah pada akidah yang dimilikinya tapi ia tidak berusaha untuk mencari jalan yang benar. Orang semacam ini tentu dari kaca mata sosial maupun syariat sangat tercela.

b- Jahil qoshir yaitu orang yang ada kemungkinan dia lalai ataupun yang tidak memberikan kemungkinan salah atas prilakunya. Dan kalaupun ia memberikan kemungkinan salah pada prilakunya maka ia bersedia mendengarkan ucapan orang lain, tapi sayangnya ia tidak punya sarana yang cukup untuk menggapai kebenaran yang ada. Orang semacam ini baik sosial maupun syariat tidak mungkin bisa untuk disalahkan ataupun mencelanya.

Setelah kita mengetahui dua poin diatas maka dapat kita sebutkan bahwa orang yang lemah dari sisi pemikiran (mustadhaf fikri) dan jahil qoshir yaitu bagi orang yang belum sampai kepadanya kebenaran islam dan ajaran Ahlul-Bait (tasyayyu’) maka ia tidak bisa dihukumi salah (ma’dzur) sehingga kalaupun ia terjerumus pada kesalahan dalam berkeyakinan –hal itu dikarenakan tidak adanya dualisme dalam kebenaran seperti apakah Tuhan ada atau tiada? Muhammad (saww) sebagai nabi Allah dan nabi terakhir atau bukan? Maka mustahil bertemunya dua hal tersebut yang saling paradox- tetapi kita tidak bisa menghukuminya sebagai penghuni neraka karena kesalahan yang ia lakukan. Sementara kita tahu bahwa mayoritas penduduk dunia tergolong dari kelompok tersebut. Akan tetapi jika ia menganggap remeh kebenaran ataupun ia telah melihat kebenaran tapi dengan terang-terangan ia menentangnya tentu disaat itu baik syariat maupun logika akan menghukumi orang semacam itu karena hukuman disesuikan dengan pelanggaran yang diperbuat oleh suatu oknum. Hal tersebut sesuai dengan potongan dari doa’ kumail, doa’ yang diajarkan Ali bin abi tholib (as) kepada sahabat beliau Kumail bin ziad (ra):

“…wahai Tuhan, Engkau telah berjanji bahwa neraka akan dipenuhi dengan orang-orang kafir baik dari golongan jin maupun manusia, dan akan Kau kekalkan bagi mereka yang menentang (kebenaran)…”

maka bagi setiap orang kafir yang ia tidak meniti jalan yang benar maka ia akan dimasukkan neraka sesuai dengan kesalahan yang ia perbuat. Adapun jika ia menentang kebenaran yang telah ada dihadapannya maka ia akan dikekalkan dalam siksaan neraka. Singkat kata bahwa dizaman kita sekarang ini yang termasuk kategori orang-orang yang selamat tidak hanya terbatas pada seratus juta jiwa atau hanya pengikut imamiah saja.

Poin lain dalam pembahasan pluralisme yang harus diperhatikan adalah kita tidak perlu mengungkit-ungkit tentang di kota atau di negara mana atau dari orang tua yang mana kita terlahir, atau didaerah mana kita tumbuh dan berkembang. Akan tetapi yang perlu kita angkat adalah dari sekian banyak pendapat ataupun statemen yang ada dari sisi ephystemologi maupun realitanya tidak mungkin ada dualisme kebenara. Adapun perbuatan apapun yang akan diperbuat oleh orang yang menentangnya itu permasalahan lain yang sudah pernah kita singgung dalam pembahasan yang lalu.

Adapun tentang tujuan sosial yang pernah disinggung seperti untuk menghindari peperangan dan pertumpahan darah, bisa kita katakan bahwa pendapat semacam itu bukan lantas menjadikan kita lantas membenarkan dakwahan pendapat tentang adanya dualisme kebenaran, karena kategori kebenaran ataupun kesalahan dalam pemikiran berbeda dengan kategori tentang dua hal tersebut dalam hal prilaku dan diantara keduanya tidak ada media penghubung sehingga untuk menghindari berbagai peperangan maupun pertumpahan darah yang tidak dikehendaki ada jalan alternatif yang benar dimana Islam telah melampaui jalan-jalan itu dengan bai. Bisa kita perjelas semisal ada beberapa kelompok yang bukan pengikut imamiah itsna asyariah dimana diantara mereka sendiri terdapat perbedaan dari sisi hukum sehingga terbagi pada beberapa kelompok

Beberapa madzhab yang ada baik dari kelompok syiah maupun sunni kecuali kelompok minoritas saja –dari para nashibi yaitu kelompok yang menentang dan mencela para manusia suci dari ahlul-bait (as)- mereke sama-sama memiliki kesamaan dengan imamiah baik dari sisi ketuhanan, agama, kitab suci dan kejelasan-kejelasan agama lainnya dimana semua mazhab-mazhab itu sama-sama dibawah naungan pemerintahan Islam sebagai manusia muslim yang memiliki hak masing-masing dan dimana antara mazhab tersebut meyakini bahwa agama tidak mengajarkan terjadinya peperangan diantara mereka.

Bagi non muslim atau setiap individu pemeluk agama Yahudi, Nasrani maupun Zoroaster yang biasa disebut dengan ahli kitab, jika mereka hidup dibawah naungan pemerintah Islam dan taat atas setiap undang-undang yang diberlakukan, maka merekapun mendapat perlindungan yang sama seperti anggota masyarakat yang lain. Dimana jiwa, harta dan kepemilikan mereka aman dan terjaga, sebagaimana orang-orang Islam diharuskan membayar khumus, zakat dan pajak maka merekapun berkewajiban membayar semisal pajak yang biasa disebut jizyah sebagai tanda ketaatan. Oleh karena itu Islam tidak akan memerintahkan untuk menyerang terlebih dahulu buat pengikut agama-agama semacam ini.

Bagi pengikut agama non samawi yang telah mengadakan perjanjian dengan sebuah pemerintahan Islam, orang tersebut berdasarkan perjanjian itu pula ia dapat hidup bertetangga dengan kaum muslimin dan didalam wilayah teritorial negara Islam. Dimana keduabelah pihak harus berprilaku sesuai dengan perjanjian yang ada –yang boleh jadi berbeda-beda buat tiap person- dan sesuai dengan perjanjian bahwa sehubungan dengan kelompok tersebut maka hak dan kebebasan dalam berseteru antar dua kelompok yang ada ditiadakan.

Setiap individu yang sama sekali tidak terikat dengan perjanjian apapun ataupun yang memiliki perjanjian tapi ia mengingkari perjanjian yang ada, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang sewenang-wenang dan orang semacam ini tidak akan bisa diterima oleh jenis pemerintahan manapun. Sehingga dalam berinteraksi dengan merekapun harus dengan ketegasan atau kalau perlu dengan peperangan sampai mereka menyerah atau menjadi tawanan. Aturan semacam ini ada pada pemerintahan manapun didunia, dimana tiada satu pemerintahan yang sehat manapun yang memberi izin seseorang untuk mencuri ataupun melanggar hak-hak orang lain. Tentu, pemerintahan semacam itu akan berbenturan dengan kelompok semacam itu.

Dari segala yang telah kita bahas dapat kita ketahui bahwa agama yang logis dan rasional adalah agama Islam. Dimana ia selalu menyerukan dialog kepada selainnya dan selalu menyerukan bahwa ia adalah agama dialog dan menjunjung tinggi hal tersebut. Sehingga Islam berpendapat jika anda dapat memuaskan kita dengan menunjukkan dan menetapkan kebenaran jalan yang telah anda tempuh niscaya kita akan mengikutinya, akan tetapi jika terbukti bahwa kita dalam kebenaran maka kita akan menyerukan hal itu pada anda agar andapun mengikuti kami. Ada prinsip lain yang lebih tinggi lagi yaitu jika anda tidak mau menyerah atas logika dan kebenaran yang kami bawa maka mari kita adakan perjanjian sehingga kita bisa hidup bersama-sama dan sehingga pertumpahan darah diantara kita bisa dihindari, walaupun anda boleh tidak mau menerima ucapan kita. Alakullihal…jika seseorang tidak mau menerima ucapan logis dan kebenaran kita juga tidak mau mengadakan perjanjian agar bisa hidup berdampingan secara rukun dan damai, melihat hal seperti ini maka setiap pengamat yang berjiwa bijak pasti tidak akan bisa menerima hal tersebut dan akan berpendapat bahwa tiada jalan lain yang layak ditempuh kecuali harus diadakan tindakan keras atas mereka. Untuk menghentikan pertikaian dan tindakan keras jelas tidak cukup dengan larangan yang ditujukan pada salah satu pihak saja untuk menghentikan pertikaian, akan tetapi harus kedua belah pihak harus memiliki perhatian atas perdamaian diantara mereka. Maka jalan yang benar untuk ditempuh bukan berarti lantas mengatakan kedua-duanya dalam kebenaran, tetapi bisa saja dengan mengatakan bahwa salah satu benar dan realitasnya memang hanya satu yang benar. Akan tetapi bisa saja disarankan agar segala macam jenis pertikaian dengan pihak lain selayaknya dihindari.

(Alih Bahasa: Muchtar Luthfi)

Tidak ada komentar: