Senin, 03 Mei 2010

TANYA-JAWAB SEPUTAR PLURALISME AGAMA & MAZHAB (Bag 1)

Bersama: Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi

(Pakar fikih, mistik, filsuf dan masalah keislaman kontemporer)

I
PLURALISME DAN ASPEK-ASPEKNYA

Tanya: Apakah yang dimaksud dengan pluralisme, dan dalam aspek apa saja hal tersebut bisa diterapkan?

Jawab: Plural berarti beragam oleh karenanya pluralisme bisa diartikan sebagai kecenderungan untuk menerima keberagaman. Kecenderungan tersebut merupakan lawan dari kecenderungan monois yang hanya menerima hal yang tunggal. Di dalam banyak aspek sosial sering kita dapati ada pekerjaan yang ditangani oleh satu orang saja ataupun satu kelompok, dan ada pula yang ditangani oleh beberapa orang atau beberapa kelompok. Jika kita menerima bahwa suatu pekerjaan bisa dilaksanakan oleh beberapa orang ataupun beberapa kelompok maka hal inipun disebut sebagai pluralisme. Begitu pula sebaliknya, jika kita menerima bahwa suatu pekerjaan hanya bisa dilaksanakan oleh satu orang atau satu kelompok saja maka hal itu disebut dengan monoisme.

Istilah tadi berasal dari Barat dimana saat itu setiap orang yang memiliki beberapa kedudukan disuatu gereja ataupun orang yang meyakini bahwa disatu gereja boleh memiliki beberapa kedudukan maka orang tadi disebut dengan pluralis. Pemikiran tersebut lawan dari keyakinan atas pembatasan yang biasa disebut eksklusifisme atau faham tentang pembatasan kebenaran yang hanya ada pada satu metode atau satu aliran saja dari sekian metode atau aliran yang ada.

Pluralisme dalam berbagai aspek bisa diterapka. Pada beberapa aspek yang ada terkadang pluralisme diartikan sebagai menerima atas keberagaman dan berbagai pandangan yang berbeda dari sisi pengamalan. Dengan kata lain, bisa hidup bersama dengan rukun dan saling menghormati satu dengan yang lain juga memberikan kesempatan bagi yang lain untuk mengungkapkan pandangannya. Hal seperti itu biasa disebut dengan pluralisme praktis (amali). Pluralisme terkadang pula dipakai untuk hal-hal teoritis (nazari) dan praktis sekaligus, dimana dengan munculnya anggapan atas kebenaran semua pendapat yang berbeda-beda dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan agama, ataupun anggapan bahwa semua pendapat yang ada memiliki bagian dari kebenaran sehingga tidak ada kebenaran yang besifat absolut.

Pada zaman dahulu dimana masyarakat belum memiliki kemajuan seperti sekarang ini dimana hubungan antar mereka satu dengan yang lain sangat minim sehingga masalah khusus tentang pluralisme belum sempat terlontarkan. Akan tetapi sekarang ini dikarenakan perkembangan dan kemajuan pesat yang telah dapat diraih oleh masyarakat dan adanya hubungan erat satu dengan yang lain, oleh karenanya perlu adanya permasalahan ini dilontarkan terkhusus setelah terjadinya peperangan yang dahsyat antar kelompok dan sekte-sekte yang berakhir dengan kehancuran dan yang menjadikan pemikiran ini menjadi lebih menguat. Dimana setiap sekte-sekte dan keyakinan-keyakinan yang ada harus diakui keberadaannya sehingga terwujud rasa damai diantara mereka karena kesesuian antar mazhab akan membawa manfaat yang besar bagi komunitas manusia.

Asas praktis pluralisme adalah hidup secara rukun dan damai. Oleh karenanya amanat yang selalu didengung-dengungkan adalah adanya kemajmukan yang terdapat dalam masyarakat hendaknya tidak menyebabkan adanya pertikaian, dan seharusnya potensi yang ada sebaiknya dimanfaatkan dan dikonsentrasikan untuk membangun pribadi dan jiwa spiritual sehingga bisa hidup rukun dan damai dengan sesama. Ungkapan semacam ini tidak memiliki konsekwensi bahwa semua kelompok memiliki muatan kebenaran, akan tetapi kita diharuskan menerima kenyataan tentang adanya kemajmukan dan hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan pengakuan setiap kelompok bahwa dirinya dalam kebenaran sedang kelompok lain dianggap dalam kebatilan.

Baik dari sisi praktis maupun teoritis tuntutan pluralisme adalah penekanan atas pelarangan manusia untuk berfikir absolitis dan mempersulit orang lain dengan berlandaskan pada fanatisme terhadap pandangannya dan menganggapnya sebagai kebenaran yang mutlak, dimana pendapat semacam ini pada hakikatnya kembali pada skeptisisme dalam ephistemologi.

II

PENGERTIAN PLURALISME AGAMA

Tanya : Apa yang dimaksud dengan pluralisme agama?

Jawab : Pluralisme agama, terkadang ditinjau dari sudut pandang teoritis terkadang pula ditinjau dari sudut pandang praktis.

Yang dimaksud dengan pluralisme agama dari sudut pandang praktis yaitu menghormati kayakinan kelompok, madzhab atau agama lain hingga bisa hidup bertetangga dengan rukun dan damai satu dengan yang lain. Oleh karena itu pluralisme adalah keyakinan akan adanya dua pemikiran atau lebih –lepas dari penetapan atau penafiannya dari sisi teoritis- harus hidup teratur dan damai antar sesama dan berusaha untuk tidak mengganggu orang lain. Adapun sebaliknya, jika ada seseorang yang berpendapat bahwa salah satu harus sirna dari suatu komunitas masyarakat dan hanya satu kelompok saja yang berhak eksis ditengah masyarakat maka orang tersebut dianggap sebagai anti pluralisme. Seumpamanya berkaitan dengan sekte katolik ataupun protestan, sebagian orang beranggapan bahwa salah satu dari sekte itu harus menjadi penguasa oleh karena itu harus terjadi peperangan sehingga salah satu akan binasa dan bakal ketahuan siapa yang akan berkuasa. Adapun jika berdasarkan pemikiran pluralisme agama maka kedua sekte tersebut walaupun dari sisi teori saling mengaku benar dan menyalahkan yang lainnya tapi secara praktis mereka harus hidup rukun dan berdampingan satu dengan yang lain. Tetapi pluralisme agama dari sisi teoritis mempunyai arti bahwa dalam beberapa hal semua agama ataupun mazhab memiliki muatan kebenaran. Adapun penjelasannya secara terperinci akan kita kita jelaskan pada jawaban mendatang.

III

PLURALISME AGAMA DARI SUDUT TEORITIS

Tanya: Apa yang dimaksud dengan pluralisme agama ditinjau dari sisi teoritis, apakah mungkin teori tersebut bisa kita terima?

Jawab: Bisa dijelaskan secara global bahwa yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah pengakuan kebenaran agama–agama yang ada. Adapun penjelasan ucapan diatas bisa dijabarkan melalaui tiga versi penjelasan yang berbeda-beda:

Pertama: Tidak ada satupun agama yang memiliki muatan benar ataupun salah secara mutlak. Akan tetapi, setiap agama memiliki ajaran-ajaran yang benar sebagaimana memiliki ajaran-ajaran yang salah pula.

Kedua: Realita dan kebenaran merupakan suatu yang tunggal. Sehingga setiap agama merupakan perwujudan dari jalan-jalan yang ada, dimana yang mampu menghantarkan kita kepada kebenaran yang tunggal tadi.

Ketiga: Perkara-perkara yang terdapat dalam agama -seperti masalah-masalah supranatural yang bersifat non inderawi- ada kemungkinan adalah ajaran yang tidak mempunyai arti sama sekali, dan kalaulah memiliki arti ia tidak bisa ditetapkan dengan argumen oleh karena itu setiap agama mempunyai hubungan yang horizontal dan sejajar. Dimana hal tadi berarti setiap orang berhak hidup dengan agama pilihannya.

Penjelasan makna pertama:

Pemiliki pendapat ini beranggapan bahwa kebenaran tersusun dari beberapa unsur dan bagian, dimana setiap bagian yang ada dapat kita temukan pada setiap agama. Bukan berarti suatu agama bisa disifati dengan tidak benar ataupun benar secara mutlak, karena tidak ada satu ajaranpun yang memiliki muatan baik dan benar secara mutlak. Sebagaimana tidak ada satu agamapun yang memiliki ajaran yang salah secara mutlak dan begitu pula sebaliknya. Berapa banyak ajaran Kristen yang kita temukan pula didalam ajaran Islam, oleh karena itu tidak bisa kita katakan bahwa Kristen secara mutlak batil. Begitu pula Islam, banyak pula ajarannya yang sesuai dengan ajaran Yahudi oleh karenanya tidak bisa dikatakan bahwa Yahudi ataupun Islam secara mutlak salah.

Sewaktu segala kebaikan dan kebenaran tersebar pada setiap agama maka tidak bisa kita katakan bahwa suatu agama secara mutlak salah dan agama lain secara mutlak benar. Kita harus menghormati setiap agama dan mazhab yang ada secara sama. Atas dasar itulah kitapun bisa mencomot semua ajaran-ajaran dari setiap agama, dengan arti setiap ajaran yang benar yang terdapat pada setiap agama dapat kita ambil dan kita terima. Sebagian kita bisa mengambilnya dari Yahudi sedang sebagian yang lain dari Islam dan lainnya dari agama yang lain pula.

*Menimbang kebenaran pendapat pertama:

Pada prinsipnya, pendapat tentang adanya unsur kebenaran pada setiap agama ataupun madzhab –lepas dari sisi kuantitasnya- bisa diterima karena kebatilan mutlak dialam ini tidak akan bisa kita temukan. Ungkapan semacam ini tidak mungkin bisa diterima oleh siapapun yang berakal sehat.

Dari sisi lain, jika yang dimaksud adalah semua agama yang sekarang ini berada didunia dimana masing-masing memiliki keyakinan dan hukum-hukum yang batil serta tidak ada satu agamapun yang sempurna. Tentu, ungkapan semacam inipun tidak bisa kita terima, karena Islam berpendapat bahwa agama Ilahi dan syariat Muhammad (saww) sudah sempurna kebenarannya dan dengan turunnya Islam maka sempurna sudahlah agama dan tuntaslah nikmat yang ada. Adapun segala apapun yang ada pada agama-agama lain jika sesuai dengan Islam maka bisa dihukumi benar dan jika tidak maka dihukumi batil. Dikarenakan tidak mungkin penyembahan terhadap berhala, hewan dan sebagainya yang semua itu bertentangan dengan ruh ajaran Islam juga agama-agama monoteis yang masih orisinil dan bertentangan juga dengan ‘kejelasan esensial jiwa’ (conscience/wujdan) setiap manusia bijak dan berakal pada individu-individu pengikut agama-agama dan ajaran tersebut.

Disamping itu, Islam adalah agama yang dengan jelas menentang akan adanya keimanan terhadap sebagian ayat dan mengingkari terhadap sebagian yang lain. Islam berpendapat bahwa dengan mencomot-comot ajaran beberapa agama sama halnya dengan mengingkari seluruh ajaran agama tersebut. Ringkasnya, bahwa Islam –sebagaimana yang tercantum dalam hadits Tsaqolain (untuk berpegangan kepada Al-Quran dan Al-Ithrah .pen)- semua ajarannya mengandung kebenaran dan sama sekali tiada kebatilan didalamnya.

Penjelasan makna kedua:

Pendapat ini berdasar pada bahwa agama yang benar ibarat puncak tunggal suatu gunung, dimana semua agama yang ada didunia merupakan berbagai bentuk sarana untuk menuju fokus yang satu. Setiap agama bertujuan untuk menghantarkan kita pada kebenaran yang tunggal tadi dan pada kenyataannya semuanya berhasil sampai juga pada tujuannya. Terkadang dengan melalui jalan yang panjang dan ada juga yang hanya menempuh jalan yang sangat ringkas sekali ataupun ada juga yang sama. Seorang yang berangkat menuju masjid, gereja ataupun tempat-tempat ibadah lainnya mereka bertujuan sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

*Menimbang kebenaran pendapat kedua:

Penjelasan diatas hanya bisa diidekan pada tahapan imajinasi saja. Tetapi jika dihubungkan pada kenyataan agama-agama yang ada tidak akan bisa diterapkan. Sewaktu Islam mengutarakan pendapat awalnya yaitu tentang ke-Esa-an Tuhan dan jalan keberuntungan adalah dengan menerima ajaran tauhid maka bagaimana mungkin hal tersebut disamakan dengan ajaran Kristen yang mengajak pada keyakinan trinitas? Bagaimana mungkin semua kita akan menuju pada titik yang satu? Apakah mungkin dua garis yang berseberangan dan sejajar akan bertemu pada titik yang satu? Dimana Al-Qur’an dalam menyikapi keyakinan trinitas mengatakan:

”karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (QS Maryam;90-91)

Apakah hal tersebut dari sisi tujuannya lantas bisa disamakan dengan ajaran trinitas? Apakah mungkin bisa disamakan dan menuju jalan yang satu antara agama yang melarang untuk memakan babi dan meminum minuman yang beralkohol dengan agama yang melarangnya?

Penjelasan pandangan ketiga:

Disini sebagian para positivis berpandangan ekstrim (ifrath) terhadap segala proposisi tersebut. Sedang sebagian lagi memberikan kemungkinan akan adanya makna dari hal tersebut, tapi mereka beranggapan hal itu tidak bisa ditetapkan secara argumentatif karena untuk sebagian orang hal tersebut boleh jadi akan menjadi baik dan benar akan tetapi untuk sebagian yang lain hal tadi buruk dan salah, atau pada waktu tertentu baik tetapi diwaktu yang lain menjadi buruk. Kita tidak memiliki pengenalan yang pasti dimana seratus persen sesuai dengan kenyataan. Keyakinan akan kebenaran dengan derajat seratus persen pada suatu proposisi menunjukkan adanya ketidaktelitian akan masalah tersebut, dan masih ada beberapa pendapat lainnya.

Singkat kata, pandangan diatas tidak jauh dari hanya sekedar bermain dengan kata-kata saja dan hanya mengikuti selera sosial dan individual belaka. Hal itu menjadi salah satu akar pemikiran toleransi dan penyederhanaan masalah (tasahul) didunia sekarang ini.

Atas dasar pemikiran filsafat tadi sebagian orang akhirnya berpendapat tentang adanya pluralisme dalam agama dengan mengatakan bahwa dalam kamus kita sama sekali tidak ada yang namanya agama yang benar atau agama yang salah karena pemakaian kata benar dan salah dalam permasalahan tersebut sudah merupakan suatu kesalahan. Pemahaman semacam ini ada kemungkinan tidak memiliki arti sama sekali atau tidak bisa dipertimbangkan dari sisi penetapan maupun penafiannya. Dengan kata lain, bahwa dengan sedikit adanya toleransi maka dapat dikatakan bahwa seluruh agama merupakan jalan-jalan menuju satu kebenaran.

Sebagian dari ajaran-ajaran ritual keagamaan aliran-aliran terdahulu berpendapat bahwa segala yang menjelaskan tentang realita ataupun eksistensi sesuatu maka hal itu memiliki arti dan memiliki muatan benar dan salah, seperti proposisi bahwa “Tuhan Esa” hal itu sama sebagaimana masalah keharusan dan pelarangan (dalam pembahasan filsafat etika. Pen) dimana hal tersebut tidak memiliki muatan benar-salah selayaknya ucapan “keadilan harus ditegakkan” dan “dilarang berbuat zalim”.

*Menimbang kebenaran pandangan ketiga:

Pembahasan tentang filsafat positivisme dalam kaitannya dengan pembahasan tentang muatan arti ungkapan-ungkapan (propositions), baik yang berhubungan dengan yang non-inderawi dan pemberian kepercayaan penuh pada indera (sensial) ataupun rasionalitas dalam masalah pengetahuan (knowledge), dimana semua itu tidak ada hubungannya langsung dengan pembahasan ini dan telah dibahas secara terperinci dalam pokok-pokok bahasan filsafat dan ephystemologi (bisa dirujuk dalam buku karya penulis tentang filsafat. pen). Oleh karenanya disini yang hanya bisa kita singgung adalah bahwa segala hal yang berhubungan dengan keilmuan manusia jika seratus persen hanya bertumpu pada hal-hal yang bersifat inderawi (empiric) saja tanpa bersandar pada sisi rasionalitas, maka tentu kita tidak dapat menerimanya. Dikarenakan untuk membuktikan benar-salah suatu permasalahan tidak cukup hanya dengan penginderaan dan eksperimen saja -akan tetapi melalui pendekatan rasiopun kebenaran bisa diketahui – kesalahan suatu proposisi bisa dilihat sebagaimana dalam berbagai pokok bahasan yang berhubungan dengan matematika ataupun filsafat- tentu pendapat diatas tidak bisa kita terima. Selain itu dengan bersandar pada ‘kejelasan esensial jiwa’ (conscience/wujdan) kita bisa dengan jelas membedakan antara proposisi-proposisi seperti “Tuhan ada” , “dilarang berlaku zalim” , “harus sholat” dan “cahaya lampu asam rasanya”. Jika proposisi pertama, kedua dan ketiga tidak memiliki arti sama sekali maka, tentu dengan yang terkandung dalam proposisi keempat dilihat dari sisi artinyapun tidak terdapat perbedaan dengan yang sebelumnya.

Sewaktu ajaran-ajaran agama dikatakan logis dan bisa dipertimbangkan dari sisi pembenaran dan penafiannya maka soalan semulapun kembali bisa dimunculkan yaitu diantara tiga ajaran; “Tuhan tiada” dan “Tuhan Esa” dan “Tuhan tiga (berbilang)”. Bagaimana mungkin semua itu bisa digabung dan ditemukan serta dihukumi benar? Dan apakah benar bahwa sesuai dengan asas-asas pluralisme ketiga proposisi tentang keyakinan tadi semuanya bisa dihukumi benar?

IV

PLURALISME DARI SUDUT PANDANG PRAKTIS

Tanya: Apakah sudut pandang praktis pluralisme agama pernah ada dalam sepanjang sejarah dunia Islam?

Jawab: Tentang pluralisme agama antar dua kelompok dari satu mazhab atau antara dua mazhab dari satu agama ataupun antara dua agama pernah terlontarkan. Umpamanya, hidup berdampingan yang pernah terjadi antara pemeluk Islam dengan Kristen dan Yahudi dalam satu blok ataupun satu wilayah dan satu kota dimana antar pengikut agama-agama tersebut bisa hidup rukun berdampingan tanpa ada pertikaian fisik satu dengan yang lain. Padahal masing-masing pemeluk agama tersebut menilai ajaran diri mereka dalam kebenaran sedang orang lain dianggap dalam kesesatan, malah terkadang terjadi perdebatan antara mereka. Dalam Islam pemandangan semacam itu pernah terjadi. Al-Qur’an, sirah nabi Muhammad (saww) dan para imam suci Ahlul Bait (as) memang sangat menekankan pada setiap kaum muslimin tentang adanya hubungan semacam itu.

Persatuan yang akhir-akhir ini selalu kita dengungkan, dimana antara syiah dan sunni pun telah sepakat tentang hal itu, sebenarnya sudah pernah terlontar semenjak zaman imam Ja’far Shodiq (as). Imam Shodiq (as) selalu menekankan untuk mengikuti sholat dan menghantar (tasyi’) jenazah saudara-saudara kita dari ahli sunnah, menengok para orang sakit dari mereka dan siap membantu dalam setiap pertolongan apapun yang mereka inginkan selama tidak menyulitkan. Lebih dari itu, dizaman awal-awal munculnya Islam hubungan antara kaum muslimin dengan ahli dzimah (non muslim yang hidup dilingkungan negara Islam dan patuh pada segala peraturan yang ada. Pen) sangat erat sekali, dimana satu dengan yang lain saling terjadi hubungan relasi kerja, hutang-piutang dan saling jenguk walaupun pada prinsipnya dari sisi pandangan dan pemikiran, setiap individu dari mereka meyakini kebenaran agama masing-masing. Bagaimanapun juga, topik ini merupakan salah satu dari permasalahan prinsip Islam dimana tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya. Sedang para pemikir Islam baik dari kalangan syiah maupun sunni dalam melihat permasalahan diatas, mereka sama sekali tidak meragukan apalagi memungkiri bahwa pernah ada dizaman itu kehidupan rukun dan damai dengan pengikut agama ahli kitab. Walaupun antara kedua kelompok tadi terdapat perbedaan dari sisi tatacara dan adat istiadatnya, akan tetapi jalan keluar untuk menyelesaikan setiap perbedaan yang ada selalu didapat dari kesamaan-kesamaan dan berbagai pendekatan yang ada. Lantas hubungan semacam itu tidak berkonsekwensi bahwa kita harus mengakui kebenaran jalan yang mereka tempuh. Kita bisa lihat, bagaimana pandangan Islam sewaktu diadakannya perjanjian damai dengan kaum musyrik. Semua itu dikarenakan adanya hukum eksidentil yang menuntut agar kita hidup damai dengan mereka. Hal itu sebagaimana yang pernah terjadi dizaman Rasulullah (saww), dimana beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrik untuk tidak saling mengganggu baik jiwa maupun harta benda kedua belah pihak.

V

KEBENARAN SEMUA AGAMA DAN MADZHAB

Tanya: Apakah mungkin kita meyakini kebenaran semua agama dan mazhab?

Jawab: Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan yang lalu, pluralisme memiliki sisi praktis dimana Islampun selalu menyerukan hidup berdampingan secara rukun dan damai pada setiap pemeluk agama dan mazhab yang ada. Kalaupun kita tidak bisa mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memprakarsai pemikiran tersebut, paling tidak Islam adalah agama yang sangat menekankan akan penjagaan hak-hak pemeluk berbagai agama ataupun mazhab minoritas. Oleh karena itu, kita cukup bersandar pada ucapan imam Ali (as) ketika beliau mendengar bahwa pengikut Muawiyah mengambil secara paksa gelang kaki seorang anak perempuan Yahudi dengan ucapan: “jika seorang muslim mati dalam keadaan semacam ini, maka ia pasti mendapat balasannya”.

Adapun pembicaraan berkenaan dengan fenomena kemajmukan yang terdapat dalam agama dan mazhab, maka akan timbul pertanyaan seperti; Apakah bisa semua agama dan mazhab tadi dinilai benar? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus terlebih dahulu menilik kandungan ajaran yang terdapat dalam agama Islam dan Kristen, sehingga kita bisa menilai kebenaran pada keduanya ataukah menerima kebenaran salah satu dari keduanya saja dan mengingkari yang lain.

Masalah utama yang ada pada agama Islam adalah masalah tauhid yang membicarakan akan ke-Esa-an Tuhan, penafian dzat-Nya dari ketersusunan dan bilangan, tidak beranak dan dianakkan. Adapun masalah prinsip dalam agama Kristen adalah masalah trinitas.

Pada zaman dahulu, beberapa sekte minoritas kristen baik dari Katolik, Protestan maupun Ortodox meyakini akan trinitas –bapak, anak dan ruh kudus- dimana mereka berpandangan dengan meyakini hal tersebutlah yang akan menyelamatkan manusia dari siksa. Lantas banyak sekali bermunculan karya-karya dalam rangka menafsirkan tiga prinsip tersebut sehingga tinggal hanya beberapa sekte saja yang menganggap trinitas sebagai pemikiran yang telah menyimpang dari ajaran Kristen, sementara sekte-sekte lain pada akhirnya menerima ketuhanan Isa Al-Masih atau mengakui beliau sebagai anak Tuhan dan menganggap hal itu sebagai salah satu ajaran kristen.

Al-Qur’an dalam menghadapi ajaran dan keyakinan semacam ini menyatakan:

”karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (QS Maryam;90-91)

sedang diayat lain disebutkan:

“Wahai ahli kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, sesungguhnya Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah……maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan “Tuhan itu tiga” berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak….” (QS An-Nisaa’;171).

Atau dengan firman yang lain:

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”,padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa….” (QS Al-Maa’idah;73)

Adakah akal manusia –apalagi akal manusia muslim- menerima bahwa antara tauhid dan trinitas keduanya dalam kebenaran? Satu berpendapat bahwa selama anda belum menjadi monoteis dan meyakini ke-Esa-an Tuhan maka anda belum dikategorikan seorang muslim. Hal itu dikarenakan syarat utama orang menjadi muslim dan masuk wilayah kebenaran adalah bertauhid, sedang yang lain beranggapan bahwa selama anda belum menerima trinitas anda belum menjadi seorang pengikut agama Nasrani dan tidak akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan. Cobalah anda perhatikan betapa jarak yang membedakan kedua pendapat diatas, apalagi kalau kita bandingkan dengan agama Budha yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak pernah ada bahkan tidak akan pernah ada. Dari situ maka menjadi suatu hal yang mustahil dalam penggabungan antar ajaran-ajaran tadi. Jelas antara “Tuhan ada” dan “Tuhan tiada” merupakan perkara paradox. Sebagaimana “Tuhan ada tiga” dan “Tuhan tiada” begitu pula hukumnya. Kalaulah ada yang berusaha menyatukan hal itu, maka perbuatan mereka lebih pantas dibilang suatu bentuk bualan dan gurauan belaka dari pada keseriusan.

Begitu pula jika kita tengok hukum syariat Islam serta kita bandingkan dengan yang ada pada agama Kristen niscaya kita lebih akan mengakui bahwa tidak akan mungkin untuk membenarkan keduanya. Islam mengajarkan bahwa memakan daging Babi haram hukumnya, sementara ajaran kristen membolehkannya. Dalam ajaran Islam –sesuai dengan ucapan imam Ali (as)- diajarkan bahwa;

“jika setetes arak jatuh ke sumur kemudian dari air sumur tersebut tumbuh rerumputan yang kemudian dimakan oleh seekor kambing niscaya aku tidak akan memakan daging kambing tersebut”.

Adapun dalam ajaran Kristen jika seorang pendeta meletakkan roti pada arak kemudian memasukkannya ke mulut pengikutnya, maka roti dan arak yang telah mereka masukkan kemulut tadi diyakini akan berubah menjadi darah Isa Al-Masih (lihat injil matius;26).

Dari masalah tadi dan dengan melihat masalah-masalah lain yang sejenis, maka apakah mungkin seorang yang berakal dapat menghukumi bahwa Islam adalah jalan lurus yang menghantarkan pada kebenaran, kesempurnaan dan ketenangan abadi, begitu pula dengan Kristen, Budha, Hindu, Khonghucu….dst.

VI

SEMUA JALAN MENUJU KEBENARAN

Tanya: Apakah mungkin kita berpendapat bahwa dalam tubuh Islam sendiri bisa diterapkan ungkapan banyak jalan menuju kebenaran?

Jawab: Keyakinan tentang adanya banyak jalan menuju kebenaran jika disesuaikan dengan penafsiran pluralisme adalah bahwa dalam satu masalah kebenaran bisa berbilang dan berbeda-beda. Sebagaimana yang telah kita singgung pada jawaban yang lalu dimana hal itu sama sekali tidak bisa diterima.

Akan tetapi jika kita sesuaikan dengan penafsiran pluralisme lain yang menganggap bahwa hakikat itu satu akan tetapi manusia belum bisa menjangkaunya, hal ini secara umum masih belum bisa diterima dan hanya dalam cakupan yang sangat partikular sekali yang mungkin masih bisa kita terima. Sebagaimana disebutkan oleh para mufassir dalam karya-karya mereka bahwa hal tadi sering disebut dengan “subul” (jamak dari sabil=jalan. Pen) dan bukan “shuruth” (jamak dari shirath.pen) yang berarti jalan besar dan utama yang hanya satu wujudnya. Hanya dengan bersandar pada yaqiniyat (premis certains) saja kita sudah mampu menghukuminya.

Sehubungan dengan jalan-jalan simpangan -yang bukan jalan utama- dimana mungkin saja terdapat penyimpangan-penyimpangan disana-sini, akan tetapi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi jalan utama (prinsip agama) tadi. Pengakuan atas berbilangnya jalan-jalan simpangan tadi bukan berarti harus dibarengi dengan menerima atas ide adanya beberapa jalan utama, karena hanya satu jalan utama (shirat al-mustaqim). Oleh karena itu, Allah dalam Al-Qu’an dalam penggunaan kata “shirath” dengan tunggal sementara kata “subul” dengan jamak.

“dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain….” (QS Al-ma’idah;153).

Jelas bahwa disamping kata “shirat al-mustaqim” (jalan yang lurus) juga terdapat kata “subul” (jalan-jalan) yang menunjukkan adanya bilangan. Hal tersebut seperti yang difirmankan dalam ayat lain yang berbunyi:

“dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami….” (QS Al-Ankabut;69)

adapun “subul” dalam ayat ini adalah jalan-jalan yang diridhai -berbeda dengan ayat sebelumnya- yang bisa diperumpamakan seperti garis-garis yang terdapat dalam jalan utama “shirat al-mustaqim”.

Bersambung…

(Alih Bahasa: Muchtar Luthfi)

Tidak ada komentar: