Kamis, 26 Mei 2011

Nonkontradiksi dan Identisitas: Dua Prinsip dalam Epistemologi Islam

Oleh: Ammar Fauzi Heryadi

Apa yang akan Anda simak di bawah ini adalah pendekatan lain dari yang diupayakan dalam aktikel HUDHURI: Basis Kebenaran. Artikel ini lebih menyoroti ilmu hushuli; pengetahuan representatif. Dalam padanannya, aktikel ini juga mewakili titel HUSHULI: Basis Kebenaran. Tidak ada pengantar di sini. Saya rujukan seluruhnya pada prolog di HUDHURI. Waallahu a’lam.

Menjajaki Kemungkinan

Usaha mencari awal dan bahan dasar pemikiran menjadi logis, bijak dan manusiawi, bilamana ada kemungkinan menemukannya. Untuk yang terakhir ini, perlu sebuah kriteria yang dengannya kita bisa memilah mana yang sesungguhnya awal dan bahan dasar (basic) pemikiran dan mana yang bukan.

Secara singkat, pemikiran (thought) atau penalaran (reasoning) diartikan sebagai proses kegiatan mental dan menarik kesimpulan. Kata proses ini mengingatkan kita kepada arti perjalanan, yakni perjalanan rasional. Dalam kapasitas ini, proses juga –setidaknya- meniscayakan awal. Begitu juga, ‘menarik kesimpulan’ adalah proses konkret dari kegiatan mental.

Menarik hanya akan diartikan menarik jika ada yang ditarik (kesimpulan) dari sesuatu (pernyataan). Maka, proses menarik diawali oleh pernyataan, diakhiri oleh kesimpulan. Dan, jika pernyataan ini juga berupa kesimpulan yang ditarik, ia pun mesti diawali oleh pernyataan lain. Namun, anggapan bahwa ‘setiap pernyataan ialah kesimpulan yang ditarik (dari selainnya)’, membawa kita pada silsilah pemikiran yang tak berawal (doxastic regress). Anggapan ini malah menafikan awal dan proses pemikiran-penalaran. Implikasi penafian ini terus merambat sampai menihilkan arti pemikiran-penalaran itu sendiri.

Kalau pun anggapan itu diterima sebagai kebenaran, maka pernyataannya (‘setiap pernyataan ialah kesimpulan yang ditarik dari selainnya) bisa diasumsikan sebagai awal penyataan atau bukan awal pernyataan. Asumsinya sebagai awal pernyataan berarti mengakui perihal keberawalan pemikiran sekaligus menentang kontent pernyataan itu sendiri. Sementara asumsi kedua berimplikasi bahwa ia, kalau tidak ingin dikatakan kebetulan, keperucut atau serampangan, diawali oleh pembuktian lewat pernyataan lain. Tampak jelas bagaimana dua asumsi ini memperlihatkan bahwa di dalam sumsum anggapan itu ada semacam chaos dan inkonsistensi logis (self-refuting). Baik menolak atau meragukan perihal awal pemikiran tidak beda dengan menerimanya, meski secara tidak langsung.

Sejatinya, perihal keniscayaan pernyataan awal tidak dapat tidak diragukan. Mesti ada pernyataan yang tidak lagi berupa kesimpulan yang ditarik dari pernyataan lain, ia adalah awal silsilah keturunan kesimpulan dan pernyataan. Barangkali terlalu tergesa-gesa untuk dibubuhkan kaidah Fondasionalisme, bahwa ‘ada dua macam pengetahuan; kesimpulan (nadhari) dan pernyataan (badihi). Dan, kesimpulan itu benar adanya manakala diinferensi (diproses dan diawali) dari pernyataan’.

Mengapa tidak memperlakukan kritis kaidah fondasionalis ini sebagaimana terhadap anggapan di atas itu? Kita bersama Peterson dan kawan-kawannya berhak menggugat, bahwa kaidah fondasionalis ini juga tidak lepas dari dua asumsi; awal pernyataan atau bukan awal pernyataan. Diakui atau tidak bahwa kaidah itu bukan awal pernyataan, ia adalah kesimpulan dari rangkaian pernyataan. Ia merupakan hasil proses pemikiran dan penalaran.

Namun demikian, perlu disadari pula bahwa di dalam kaidah itu sepanjang dua asumsi tersebut tidak dijumpai chaos dan inkonsistensi logis itu sebagaimana pada anggapan di atas. Kaidah ini mengakomodasi ide keberawalan dan keberposesan pemikiran. Hak gugat Peterson menjadi proporsional jika ia menempatkannya dalam pertanyaan berikut ini, apakah pernyataan yang melandasi dan mengawali kesimpulan dan kaidah ini? Inilah permasalahan yang akan membuka awal perjalanan rasional kita mengenai sistem keyakinan.

Dari uraian-uraian sederhana di atas, ada satu titik terang bahwa pernyataan atau titik awal pemikiran tentunya tidak dalam proses. Artinya, ia tidak perlu lagi diproses, dipikirkan dan dinalarkan kebenarannya. Titik terang berikutnya bahwa titik awal itu jelas, sejelas-jelasnya, pasti dan tidak bisa diragukan lagi kebenarannya. Sebuah titik yang tidak membuat orang terjebak dalam dualisme benar salah. Inilah maksud dari badihi. Yakni, jelas dengan sendirinya (self-evident), dan apapun cara meragukan atau menolak titik awal ini akan menjadi konyol (self-defeating). Jadi, kriteria sebuah pemikiran sebagai awal pernyataan, bahan dasar dan puncak hirarki pengetahuan adalah ke-badihi-an. Mempertegas pertanyaan terakhir tadi, apakah pernyataan yang badihi?

Prinsip Kontradiksi

Mengakui sebuah kesimpulan berarti menerima kebenarannya. Dalam pengertian korespondensial, kebenaran yaitu kebersesuaian suatu proposisi dengan fakta. Selaras dengan itu, Fondasionalisme menjelaskan kebersesuaian itu sebagai relasi antara konsepsi dan fakta. Misalnya, kaidah tersebut dahulu. Mengakui kebenarannya ialah mengakui kebersesuaiannya dengan faktanya. Mengingat kaidah ini berupa kesimpulan, maka relasi kebersesuaiannya perlu diproses, diawali dan dibuktikan oleh pernyataan yang badihi. Ada banyak perbedaan interpretasi mengenai kebersesuaian ini, sebagaimana yang terjadi pada maksud fakta. Meski demikian, relasi ini diakui sebagai salah satu unsur kebenaran. Perbedaan itu tidak berimbas pada kebenaran sebuah proposisi.

Jika kaidah fondasionalis itu sebuah kesimpulan yang benar, tentu pada saat yang sama, dari sisi yang sama, dan dalam konteks yang sama, ia bukan sebuah kesimpulan yang salah. Tidak barangkali bahwa suatu kesimpulan diterima juga diragukan, benar sekaligus salah adalah mustahil. Tidak dapat dikatakan bahwa proposisi tertentu dan negasinya dibenarkan. Inilah kandungan hukum Nonkontradiksi.

Hukum ini menyatakan bahwa Iya dan Tidak -pada segi yang sama- tidak akan ketemu. Lebih tegas lagi, ada dan tiada -pada segi yang sama- tidak akan bertemu. Dalam kapasitasnya sebagai proposisi, hukum Nonkontradiksi ini perlu diklarifikasi apakah ia kesimpulan ataukah pernyataan.

Sebagai sebuah proposisi, hukum Nonkontradiksi terdiri dari subjek (ada dan tiada), predikat (tidak akan bertemu) dan nisbah (ialah atau tidaklah) antara keduanya. Jika ia berupa kesimpulan, maka diperlukan pernyataan sebagai argumen yang membuktikan keniscayaan nisbah tersebut. Yakni, predikat itu niscaya bagi subjeknya, dan subjek itu mustahil terpisah dari predikatnya. Dalam hal ini, hukum Nonkontradiksi tampak tidak demikian. Tidak perlu keterlibatan pernyataan apapun untuk memastikan nisbah keniscayaannya. Seseorang sudah dapat memastikan nisbah tersebut hanya dengan mempersepsi subjek dan predikatnya secara baik. Memahami ada, tiada, dan bertemu, secara langsung bisa memastikan ‘niscaya’. Keniscayaan ini tidak dibuktikan oleh pernyataan lain, tetapi terkandung dalam dan bersama proposisi itu. Seketika hukum itu diungkapkan sebagai proposisi, seketika itu pula ia niscaya (dharuri) kebenarannya. Inilah kebenaran dalam dirinya sendiri (self-evident).

Nuktah di atas ini semakin menonjol tatkala disadari pula bahwa apapun usaha menolak atau meragukan (kebenaran) hukum ini akan menjadi sia-sia, kecuali dengan mempostulatkan bahwa ‘Iya dan tidak (pada konteks yang sama) tidak akan ketemu’; sebuah ungkapan dari hukum nonkontradiksi. Postulat inilah satu-satunya cara yang bisa dipilih untuk menyatakan penolakan dan peraguan. Postulat itu juga yang membuat dua usaha intelektual ini jadi maju kena mundur kena, dilematis dan serbasalah (self-defeating).

Tanpa bermaksud masuk jauh ke dalam kajian epistemologis, dapat dikatakan bahwa hukum nonkontradiksi ini akan mendapatkan haknya secara penuh pada posisinya sebagai awal dari pernyataan-pernyataan (awwalul awail) dalam hirarki pemikiran dan pengetahuan manusia. Jawadi Amuli mengatakan: “Seseorang yang mengklaim keberawalan hukum Nonkontradiksi akan mengbuktikannya hanya dengan bersandar pada hukum itu sendiri. Hal ini yang menyingkapkan keunggulannya atas setiap usaha mengklaim ataupun membuktikan. Ia bukan sekadar tidak dapat ditolak dan diragukan, juga tidak dapat didemostrasikan dan dipastikan”.

Sekadar men-tasawwur (konsepsi) subjek dan predikat hukum kontradiksi cukup untuk men-tashdiq (memastikan) kebenarannya, sebelum dibuktikan atau diangkat sebagai klaim. Kiranya, penjelasan ini mampu mempertahankan hukum ini untuk tetap disebut-sebut sebagai prinsip (ashl).

Prinsip Identitas

Tasawwur dan tashdiq terakhir tadi adalah dua istilah Arab dalam Mantiq tradisional Islam. Keduanya berkaitan dengan proposisi (qodhiyyah). Proposisi sendiri terdiri atas subjek, predikat dan nisbah (copula). Yang belakangan ini ialah relasi antara subjek dan predikat. Menetapkan (ijab) atau menegasikan (salb) relasi di antara keduanya disebut dengan tashdiq (memastikan/menilai). Tentunya, tashdiq ini menjadi mungkin bilamana kita memahami –pada tahapan sebelumnya- akan arti subjek dan predikat. Pemahaman dan pengertian inilah yang disebut dengan tasawwur itu. Untuk selanjutnya, kita akan menggunakan penilaian sebagai padanan makna tashdiq, dan pengertian sebagai padanan makna tasawur.

Kembali mencermati prinsip Nonkontradiksi. Layaknya sebuah proposisi, prinsip ini terdiri dari subjek, predikat dan relasi di antara keduanya; yakni ada-tiada, tidak bertemu dan niscaya. Sekali lagi, menilai kebenarannya berarti menetapkan relasi keniscayaan antara ada-tiada dan tidak bertemu. Penilaian dan penetapan ini perlu ( malah cukup) didahului dengan mengartikan ‘ada dan tiada’ (subjek) dan ‘tidak akan bertemu’ (predikat) secara jelas. Pengertian yang tidak beres, ambigu atau rancu mengenai subjek dan predikat akan menyulitkan dan bahkan mengganggu tashdiq.

Jelas di sini bahwasanya pengertian itu mengawali penilaian. Hal ini tidak melemahkan kepastian terdahulu, bahwa ada pernyataan, yakni prinsip Nonkontradiksi, yang tidak diawali oleh pernyataan lain, karena ia boleh-boleh saja diawali oleh arti dan konsep. Maka, untuk menilai prinsip itu secara tegas bisa diawali dengan mengartikan dan memahami konsep-konsepnya secara jelas.

Di sini, yang baru saja diulas di atas hendak digarisbawahi bahwa menilai bukan hanya bisa-bisa saja atau boleh-boleh saja diawali pengertian, tetapi bahkan niscaya dan tidak boleh tidak, seniscaya ketergantungan wujud keseluruhan kepada bagian-bagiannya. Persoalan yang akan ditindaklanjuti adalah mungkinkah mengartikan sebuah konsep? Bisakah kita mendapatkan pemahaman yang jelas tentang arti dan konsep? Persoalan ini pula yang akan membawa kita memperbincangkan beberapa tanggapan kritis atas prinsip Nonkontradiksi, mengingat posisinya sebagai awal dan bahan dasar bangunan pemikiran.

Adalah prinsip pertama Materialisme Dialektis, sembari bertaklid pada Hegel, dipercayai Stalin bahwa tidak ada satu fenomena dan entitas bisa dimengerti secara mandiri, tanpa melibatkan hubungan-hubungan imbal balik dengan apa yang di sekitarnya. Maka itu, pikiran manusia tidak bisa mengamati suatu entitas, baik di alam realitas ataupun di alam mental, secara terpisah dari selainnya, karena setiap entitas adalah rangkaian hubungan imbal baliknya dengan entitas-entitas lainnya.[1] Mengapa? Prinsip lain Materialisme dialektis menjawab, karena segala sesuatu selalu bergerak, berubah dan berkembang. Dalam Leudwick Feuerbach, Engels menegaskan arti dialektika sebagai berikut, “Ilmu tentang hukum-hukum gerak, baik di alam objektif maupun di dalam pikiran manusia”.Dalam prinsip-prinsip ini, usaha mengartikan (devinisi) suatu ide lewat logika klasik menjadi tidak mungkin, karena logika itu menekankan diferensi, pembedaan dan pemilahan sesuatu dari selainnya.

Sekilas tampak ada sesuatu yang ganjil. Kalau memang segala sesuatu, termasuk pikiran kita, bergerak dan berubah-ubah, bagaimana Engels mengartikan dialektika secara tegas. Bukankah pengertian dialektikanya juga dialektis, bergerak dan berubah-ubah? Bagaimana tokoh-tokoh Materialisme dialektis mengagas prinsip dan mendevinisikan istilah kalau ternyata semua gagasan dan devinisi, termasuk gagasan dan devinisi mereka, dianggap bergerak dan berubah-ubah? Setidaknya, paham dan batasan Materialisme dan dialektika sudah punah dengan kematian Feuerbach dan Hegel sebelum di-tasawur, dimengerti, untuk kemudian dikolaborasikan Marx bersama Engels, lebih-lebih untuk lalu dikembangkan dan diideologikan oleh Lenin dan Stalin.

Poin-poin di atas begitu lugas dan tangkas membongkar keganjilan Materialisme Dialektis. Ketangkasan ini boleh jadi lantaran prinsip pertama mereka itu diuraikan sedemikain rupa sehingga mudah disanggah. Ada uraian yang lebih tajam yang diajukan dari lingkungan penganut Sosiologi Pengetahuan, terutama M. Mankheim.

Mirip dengan uraian di atas adalah satu postulat Abdul Karim Soroush dalam menggagas teori Qabzu bast ma’refate dini (Feksibilitas Pemahaman Agama). Dalam diktumnya, Ibarat gurusneh-e ma’aniyan, nah obestane onho; bahwa kata-kata itu bak anak yang kelaparan arti, bukan ibu yang mengandung satupun dari arti. Ia mengajarkan kepada kita bahwa pengetahuan manusia di dunia ini selalu berubah dan berkembang serta berkaitan satu sama lainnya, keberkaitan yang begitu erat dan menyeluruh. Maka itu, ilmu dan pemahaman yang didapatkan dari teks-teks agama selalu berubah-ubah, mengingat keterkaitannya dengan perubahan pengetahuan lainnya di berbagai bidang. Kendati menampik relativitas kebenaran, ia menegaskan bahwa inti persoalannya terletak pada berubah-ubahnya pemahaman, yakni semua pemahaman kita akan segala sesuatu selalu mengalir (dar sayalan). Kata terakhir ini mengingatkan kita pada flux-nya Hera*censored*us yang menyatakan, “Kita tidak bisa mencelupkan diri dua kali ke dalam sungai, karena air selalu mengalir di hadapan kita”.

Rupa-rupanya, filsuf Yunani inilah yang menempati maqom kutub di antara Marx, Mankheim dan Soroush. Bagaimana yang belakangan ini secara puitis melantunkan prinsip yang terdahulu, “Ombak kecil di sebuah titik samudera pengetahuan manusia akan terus menggelombang sampai menggoyang semua titik”. Ketiganya sama-sama menekankan–secara langsung atau tidak- kelabilan pengetahuan manusia, baik yang berupa penilaian maupun pengertian.

Berhasilkah mereka meyakinkan prinsip dan teori itu kepada kita? Barangkali tanggapan terpahitnya ialah bahwa mereka tidak mampu meyakinkan penilaian dan pengertian kepada kita. Ketidakmampuan ini boleh jadi berawal dari diri kita sendiri. Jalan pintas yang mungkin diambil untuk mengatasi kekurangan pikiran kita sampai kita sendiri dapat meyakini prinsip dan teori mereka ialah dengan mengakui prinsip dan teori itu sendiri.

Pengakuan ini merupakan tanggapan paling manis yang memuaskan dan menegaskan kuatnya tawaran mereka. Hanya persoalannya, berusaha bersikap komit pada prinsip dan teori itu seperti bergerak dalam lumpur hidup. Yakni, gagasan dan pengertian yang kita tangkap dari prinsip dan teori itu dengan segenap klarifikasinya selalu labil, berubah-ubah, tentunya juga beragam dan berbeda-beda.

Dengan kata lain, apa yang kita tangkap berbeda dengan apa yang mereka sampaikan. Semakin keras kita hentakkan kaki di atas prinsip Materialisme Dialektis, malah mempercepat diri kita dibetot tenggelam habis oleh lumpurnya. Sampai di sini tampak jelas bagaimana mengakui prinsip itu tidak lebih pahit dari ketidakmampuannya meyakinkan kita. Maka, alih-alih berburuk sangka pada diri sendiri secara berlebihan, tidak ada tempat yang layak diperiksa ketidakmampuan itu kecuali pada prinsip mereka.

Lebih lanjut, implikasi ini mengingatkan Marx dan Engels bahwa mereka tidak akan bisa berkomuniksi, berdialog, apalagi hendak meyakinkan dan mendoktrin orang lain, bahkan pada diri mereka sendiri kecuali barang sesaat. Pada saat-saat berikutnya, mereka secara superaktif dan terus menerus mesti merevisi pengertian dan doktrin mereka, seketat lompatan gerak dan perubahan yang mereka percayai sendiri. Implikasi yang itu-itu juga mengingatkan Soroush bahwa mereka dihadapkan pada takdir pendahulunya. Jika mereka mempercayai keterkaitan total pengetahuan, dan jika mereka yakin getaran di satu titik akan mengubah segenap titik pengetahuan, maka pengubahan dan perubahan ini bukan hanya terjadi pada ilmi-ilmu, entah ilmu agama atau lainnya, tetapi juga terjadi pada penilaian, pengertian, prinsip, postulat dan teori mereka bangun sendiri.

Catatan-catatan ini menyingkapkan sebuah kenyataan ontologis bahwa sesungguhnya pikiran atau tasawur tidaklah sama dengan entitas objektif di luar. Gerak dan perubahan yang berlaku di alam materi tidak bisa digeneralisasikan sampai pada mental dan pikiran. Kemungkinan komunikasi, diskusi dan dialog adalah kenyataan yang mendesak kita untuk menyatakan bahwa pikiran, pengertian atau tasawur kita adalah konstant dan identik. Bahwa perubahan itu adalah perubahan secara niscaya, bukan diam. Bahwa materi itu adalah materi secara pasti, bukan abstrak.

Kaitannya dengan fenomena kekeliruan dalam mengartikan dan mengurai konsep, fakta ini tidak semestinya ditafsirkan sebagai pergerakan dan perubahan dari yang keliru ke yang tepat, tetapi difahami adanya dua pengertian; yang pertama keliru dan yang kedua tepat. Adalah keunikan pengetahuan secara umum bahwa ia –tutur Ali bin Abi Thalib as- bukan kekayaan dan benda yang kalau kita pertukarkan terjadi kekurangan dan kehilangan, sedangkan pengetahuan tidak mengalami dan kekurangan tatkala dipertukarkan. Yang terjadi malah pertambahan dan kekayaan dalam arti yang lebih unggul.

Maka itu, hanya dengan mengakui konstansi dan identitas arti atau konsep, setiap orang akan mendapatkan, termasuk Hera*censored*us dan anak-anaknya, peluang untuk berdialog, menggagas teori dan merangkai kaidah. Kalau tidak, pilihan satu-satunya adalah keterjebakan dalam keserbasalahan dan inkonsistensi logis. Prinsip konstantitas dan prinsip identitas (Hu-huwiyyah) sebegitu esensialnya dalam tahapan pengertian (tasawur), se-esensial prinsip Nonkontradiksi dalam tahapan penilaian (tashdiq).

Berkiutnya, bagaimana mengukur peran dan fungsi hukum Nonkontradiksi dalam inferensi, adalah persoalan yang melengkapi subjek. Wallahu a’lam.

[islamalternatif.net]

Referensi:

Al-hikmatul Muta’aliyah, Sadrul Muta’allihin, Muassasah Al-A’lami, Beirut, 1994.

Reason and Religious Belief, Oxford University Press, 1991, 226

Nihayatul Hikmah, M.H. Thabathabai, Jamiah Muadarrisin, Qom, 1375 HS

Tarikh Falsafeh Gharb, B. Russell, 1/86, terj. Daryabandari, Kitab Parvaz, Tehran, 1993.

Qabzu Bast Teotik Syari’at, A.K.Sosoush, Sirath, Tehran, cet.3.

UsuleFaslafeh va Rawesye Realism, M.H. Thabathabai & M. Muthahari, Sadra, Qom, 1375 HS.

(Referensi selengkapnya ada pada Penulis)


sumber : http://islamsyiah.wordpress.com/2008/04/25/nonkontradiksi-dan-identisitas-dua-prinsip-dalam-epistemologi-islam/

Tidak ada komentar: